Hallo guys, balik lagi dengan curhatan guah. Hari Senin
merupakan momok paling mengerikan bagi semua pegawai (dan juga anak sekolah)
gue. Tapi gue mencoba menikmati hari Senin, well it works well karena gue bisa
melalui hari kerja gue lumayan lancar. Namun kesialan malah menimpa gue pas
pulang dari kantor. Pas itu gue mesti bayar iuran bulanan buat acara kantor. Sebagai
tradisi, tiap bulan tuh anak-anak tiap departemen ngumpulin duit 50 ribu gitu
(semacam arisan) tapi uangnya dikumpulin buat dibeliin kado pas ada yang ulang
tahun. Nah pas gue ambil uang dari mesin ATM, tiba-tiba kartu gue ketelen. Amsyong
deh.
Monday, November 9, 2015
Tuesday, October 27, 2015
CURHAT DALAM KERETA
Hallo guys. Blog gw “Terjebak Friendzone” akan mengupas
kisah-kisah dalam kehidupan gue sekaligus curhat. Blog ini bakal gue bikin
sepersonal mungkin. Mungkin beda ama artikel-artikel gue di blog lainnya kayak
Ilmuwan Gila, Mengaku Backpacker, dan Dark Darker Darkest, isinya mungkin
kurang menarik buat kalian. Tapi yah balik lagi, tujuan gue bikin blog ini
adalah buat curhat *secara serius*
Curhatan pertama gue adalah kisah yang gue alami pas gue
dalam perjalanan balik dari Solo ke Surabaya. Temanya adalah pentingnya
pendidikan karakter bagi anak-anak kita. Saat itu di sebelah gue duduk sebuah
keluarga. Gue duduk deket jendela, di samping gue ada anak seumuran SMP, dan di
kursi di seberang gue duduk keluarganya (bokap nyokap adek ama neneknya). Nah
si anak ini minta cemilan ke nyokapnya dan dikasihlah satu bungkus gede pilus.
Di dalam kereta, tanpa sengaja pas menyobek bungkus pilus itu, hampir semua
isinya tumpah.
Tau sendiri yang namanya pilus kecil-kecil jadi susah untuk
diambil. Dan jumlahnya juga cukup banyak yang tumpah jadi cukup mengganggu mata
juga. Anak itu kemudian bertanya ke orang tuanya: apa yang harus ia lakukan.
Orang tuanya bilang untuk membiarkannya saja tercecer di lantai, biar nanti
petugas kebersihan kereta yang datang. Tapi si anak ini tetap saja tak tenang
dan berniat mengambili pilusnya satu-satu. Orang tuanya kembali melarangnya
dengan alasan lantainya kotor. Tapi si
anak ini masih bersikeras ingin bertanggung jawab. Akhirnya gue bantu dia
dengan tissue yang gue bawa untuk memasukkan kembali pilus-pilus yang terbuang
tadi ke bungkus makanannya yang tadi.
Setelah cukup bersih (si orang tua beberapa kali
mengingatkan si anak supaya berhenti agar nggak ngerepotin gue), dia gantian
bingung mau membuang kemana makanan bekas itu. Gue akhirnya nawarin tas kresek
yang gue pakai sebagai tempat sampah supaya bisa dibuang ke situ. Dan gue juga
ngingatin si anak ini supaya cuci tangan yang bersih (dia abis itu langsung
ngacir ke kamar mandi).
Pelajaran apakah yang berhasil gue peroleh dari pengalaman
sederhana ini? Well, gue bisa menarik kesimpulan bahwa perilaku mulia si anak
ini pastilah bukan karena didikan orang tuanya, karena sejak awal orang tuanya
terlihat jelas memanjakan anak mereka. “Nggak perlu bertanggung jawab, nanti
tanganmu kotor bla bla bla.” Namun tetap saja si anak punya hati nurani dan mau
bersikeras melakukan apa yang ia anggap benar, apapun perkataan orang tuanya.
Kalau bukan dari keluarganya, darimana perilaku ini muncul. Gue
menebak ini pastilah dari sekolahnya. Zaman gue sekolah dulu, belum ada
pendidikan karakter. Dan pendidikan karakter di pendidikan modern saat ini
menurut gue memang pemecahan atas berbagai masalah bangsa yang kita hadapi
saat. Mungkin hasilnya takkan dirasakan generasi ini, namun gue berharap
generasi mendatang akan jauh lebih baik, memiliki karakter yang mulai, serta
hati nurani dan keberanian untuk melakukan yang benar. Seperti yang dikatakan
Aristoteles lebih dari 20 abad yang lalu, “Mendidik pikiran tanpa mendidik hati
bukanlah pendidikan sama sekali.”
Subscribe to:
Posts (Atom)